richmondexecutiveaviation.com – Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang dimulai sejak 10 Februari 2025 merupakan bagian dari visi Presiden Prabowo Subianto. Program ini bertujuan menghadirkan layanan kesehatan dasar yang menyeluruh dan dapat diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Pemerintah menargetkan 60 juta pemeriksaan dalam tahun pertama pelaksanaan program, dengan alokasi dana sebesar Rp4,7 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Namun, hingga pertengahan Juni 2025 atau sekitar lima bulan berjalan, capaian peserta masih tergolong rendah. Data resmi mencatat baru 8,2 juta orang yang mengikuti program ini. Jumlah tersebut baru mencapai sekitar 13,6% dari total target tahunan.
Rendahnya capaian ini memunculkan sejumlah evaluasi, terutama terkait pemerataan wilayah dan akses informasi di daerah-daerah. Sebagian masyarakat di pelosok belum mengetahui program ini secara menyeluruh, sehingga partisipasi pun masih terbatas.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur dan tenaga medis juga menjadi tantangan dalam menjangkau lebih banyak peserta. Pemerintah bersama stakeholder terkait perlu melakukan percepatan sosialisasi dan distribusi layanan secara lebih merata.
Meski masih jauh dari target, program ini dinilai penting untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan kesehatan yang terjaga, produktivitas masyarakat akan meningkat, yang pada akhirnya berdampak positif bagi perekonomian nasional.
Diperlukan upaya terpadu dari pusat hingga daerah agar program CKG benar-benar menyentuh masyarakat luas dan tidak tertumpu pada wilayah tertentu saja. Pemerataan layanan menjadi kunci keberhasilan program ini.
Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang diluncurkan sejak Februari 2025 baru menjangkau 13,6% dari target 60 juta peserta. Ketua DPP Partai Perindo Bidang Kesehatan Masyarakat, Sri Gusni, menilai capaian ini sebagai momentum refleksi bagi pemerintah. Ia menyebut perlunya evaluasi menyeluruh terhadap strategi pelaksanaan, termasuk penyebaran informasi, kesiapan fasilitas, serta pendekatan berbasis wilayah dan demografi.
Hingga pertengahan tahun, cakupan tertinggi tercatat di wilayah barat Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sebaliknya, wilayah timur seperti Papua Barat, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan masih minim partisipasi. Hal ini mencerminkan kesenjangan nyata dalam akses layanan kesehatan, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Ketimpangan Gender Perlu Jadi Perhatian dalam Perluasan Program
Sri Gusni juga menyoroti partisipasi program yang didominasi oleh perempuan, yaitu sebesar 62,2%, sedangkan laki-laki hanya 37,7%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa gender masih menjadi faktor penentu dalam akses layanan kesehatan di Indonesia.
Ia menyarankan agar strategi pelaksanaan program mempertimbangkan pendekatan berbasis gender. Kebutuhan laki-laki dan perempuan terhadap layanan kesehatan berbeda dan harus diakomodasi secara adil dalam kebijakan.
Program yang menargetkan inklusivitas tidak boleh mengabaikan peran sosial dan hambatan partisipasi berdasarkan jenis kelamin atau kondisi sosial ekonomi tertentu.
Kualitas Layanan, Tindak Lanjut, dan Infrastruktur Digital Jadi Tantangan
Perindo menemukan bahwa sejumlah wilayah masih mengalami kendala standar layanan, keterbatasan alat kesehatan, dan kekurangan tenaga medis terlatih. Misalnya, di Manggarai Barat, NTT, pelaksanaan CKG terkendala minimnya alat pemeriksaan yang tersedia.
Masalah kesehatan yang paling banyak terdeteksi adalah gigi, hipertensi, diabetes, dan obesitas. Karena itu, Sri Gusni menekankan pentingnya edukasi lanjutan serta tindak lanjut oleh fasilitas kesehatan setelah pemeriksaan awal dilakukan.
Ia juga mengungkapkan bahwa aplikasi Satu Sehat belum optimal di wilayah dengan infrastruktur digital terbatas. Pemerintah perlu menyediakan layanan alternatif agar seluruh warga tetap bisa terlayani secara adil dan merata.
Leave a Reply